Jumat, 29 Juni 2012

Arsitektural Candi Singosari


Perkenalkan nama saya Andreas saya adalah seorang mahasiswa di Universitas ITN  malang kali ini saya akan bercerita mengenai pengalaman menikmati nbyek arsitektur saya yang berada di bangunan Candi Singosari Malang. Candi Singosari adalah bangunan bersejarah yang dapat dikatakan bangun yang memiliki keindahan arsitektural.

“Dahulu saya pernah ke sana, ketika waktu SMK,” dulu saya pernah bermain ke sana dan mencoba untuk mengingat-ingat kembali, dan ingatan yang mucul tentang tempat ini banyak sekali yang saya ingat. Berbagai banyak hal yang aku lakukan disana, Rasanya yang ada adalah dapat terkagum dan membayangkan bagaimana dahulu kala pembuatannya Candi Singosari tersebut. Candi Singosari yang berdiri sangat unik ini dibangun tanpa menggunakan perekat seperti adanya semen yang dapat merekatkn batu batunya. Sungguh karya yang sangat luar biasa.

Ketika saya mendatangi bangunan ini pertama kali yang saya rasakan adalah saya seperti hidup di zaman kerajaan singosari dahulu kala. Karena di candi tersebut tidak ada yang berubah masih tetap sama sediakalanya. Candi ini terletak di desa Candi Renggo, Kecamatan Singosari, Kab Malang, Jawa Timur.

Memang dahulu Candi ini dibangun masih belum selesai dalam pengerjaannya tapi saya merasakan walaupun belum selesai hawa atau nuansa dari zaman singosari pada zaman itu masih ada dan masih terasa ketika saya berada dalam bangunan candi ini. Dan saya makin penasaran jika hanya melihat daru jauh, akhirnya saya masuk dan saya melihat sebuah ruangan-ruangan kecil disetiap sisi-sisi sudut Candi tersebut. Begitu saya sangat mengamati dan saya sangat terkagum dan sempat berfikir sebagaimana pengerjaan  bongkahan batu-batu ini pada jaman dahulu yang masih belum ada alat-alat tednologi canggih untuk mengatur desain bangunan tersebut. Ketika saya naik keatas candi saya melihat ruangan yang pertama yakni ruang  dibagian depan pintu candi dan menemui sebuah patung arca yang bernama Arca Resi Agastya.

Arca Resi Agastya

             Ketika saya berada dialam ruangan saya merasakan hawa yang dingin dan berbau dupa sesajen di dalam candi tersebut. Entah kenapa bau tersebut membuat saya takut dan tersasa sangat dingin dan menyeramkan. Padahal dindingnya itt menggunakan batu yang rapat dan tidak terdapat cela pada tumpukan batu tersebut.
             Itu ruang yang pertama yang saya masuki. setelah itu saya berjalan kesamping kanannya bangunan. disamping bangunan ada ruangan juga tetapi lebih kecil dari ruang yang pertama, ruang yang ini tidak ada apa-apa hanya seperti podium atau elevasi yang saya duduki di foto ini ,yang saya rasakan ketika diruang yang ini pengap, bau, kusam, seperti tidak terurus. Setelah ruang yang kedua saya berjalan ke belakang candi singosari

Candi Singosari



Patung Arca Dwarapala

Dalam kompleks Candi Singosari, ada satu nama patung yang saya ingat, yaitu patung Arca Dwarapala Yang berada sebelah barat Candi Singhasari (kurang lebih 50 Meter) terdapat dua arca besar yang mempunyai tinggi 3,7 Meter yang disebut sebagai penjaga atau lebih dikenal dengan Arca Dwarapala dari sebuah taman yang indah dan luas pada zaman kerajaan Singosari, yang mungkin mencakup Sumberawan untuk memasukinya pada jaman dahulu.
Saya melihat bahwa patung penjaga tersebut sangatlah besar. Dan saya merasakan betapa besarnya kerajaan tersebut senhingga begitu besar pembukaan gerbang dengan adanya dua patung di depan gerbang.
Hal ini didasarkan kebiasaan bahwa arca ini jaman dulu selalu diletakkan di gapura atau pintu masuk suatu kerajaan atau lokasi penting, sebagai perlambang perlindungan kepada kerajaan tersebut. Saya benar-benar seperti merasakan berada pada masajaman dahulu ketika saya berada di sana, melihat dan menikmati objek arsitektur candi tersebut.
Mengingat sampai saat ini situs atau reruntuhan kerajaan Singosari belum ditemukan. Saat ini disekitar arca atau lokasi disebelah barat itu hanya ditemukan reruntuhan-reuntuhan kecil atau tumpukan batu kuno.
Setelah berkeliling-keliling Candi Singosari yang tak kalah capeknya dengan berkeliling Prambanan, akhirnya saya dan teman-teman mencari makan siang dan minum es campur dipinggir jalan untuk melepas dahaga dan rasa lapar. Dan setelah itu kembali pulang ke rumah. Inilah sekilas perjalananku menapaki kekayaan sebuah Candi Singosari. Semoga pengalaman cerita menikmati objek arsitekturku bisa dinikmati juga oleh pembacanya Terima kasih ^.^




Kamis, 14 Juni 2012

bangunan indah






SP/Iwan Heriyanto
Atap gedung pertemuan berdesain Rumah Gadang di Jl Gayung Kebon Sari ini menjulang bak tanduk kerbau ‘menantang’ langit.
Arsitektur modern saat ini lebih berkiblat pada desain minimalis multifungsi. Bangunan yang cenderung simetris dengan aksen berbentuk balok minim lekuk makin menjamur di seantero Surabaya. Bahkan bila memilih tema klasik, banyak yang mengimplementasikan gaya Eropa. Walhasil, dalam hitungan puluhan tahun rumah tradisional negeri ini hanya akan menjadi cerita atau minimal hanya bisa dilihat di Taman Mini Indonesia Indah(TMII).
Padahal, pada arsitektur bangunan rumah tradisional, arsitektur bukan sekadar pemahaman seni konstruksi rumah, juga merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya. Kecintaan manusia pada cita rasa keindahan, bahkan sikap religiusitasnya terefleksikan dalam arsitektur rumah dengan gaya ini.
Saat ini pun di tengah belantara bangunan modern, hanya beberapa bangunan saja yang masih keukeuh  mengusung konsep tradisional. Etnik yang cantik ditampilkan untuk ‘menguri-uri’ budaya sekaligus menjadi daya tarik.
Sebut saja Rumah Gadang di  Jl Gayung Kebon Sari. Rumah Gadang disebut juga Rumah Godang bahkan masyarakat Minangkabau menyebutnya Rumah Bagonjong atau Rumah Baanjung. Di Sumatera Barat, umah Gadang digunakan sebagai tempat tinggal bersama.
Namun di Kota Pahlawan gaya rumah ini di adopsi untuk sebuah gedtng pertemuan. Tak hanya digunakan oleh orang berdarah Minang yang ada di Surabaya, seringkali masyarakat umum menyewanya untuk berbagai kegiatan. Mulai pernikahan,reuni hingga  acara sosial.
Rumah adat ini memiliki keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya runcing yang menyerupai tanduk kerbau dan dahulunya dibuat dari bahan ijuk yang dapat tahan sampai puluhan tahun namun belakangan atap rumah ini banyak berganti dengan atap seng.
Ada juga yang mengusung tema Bali style. Seperti tampak di salah satu ruang belajar di Pura Segara kawasan Kenjeran. Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.
Arsitektur Jawa kuno yaitu Rumah Joglo juga masih bisa ditemukan di Taman Budaya Cak Durasim. Joglo mencerminkan ketenangan dengan ciri pemakaian konstruksi atap yang kokoh dan bentuk lengkung-lengkungan di ruang per ruang.
Joglo merupakan kerangka bangunan utama dari rumah adat Kudus terdiri atas soko guru berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) atau tumpang telu (tumpang tiga) di atasnya. Struktur joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur utama rumah, juga sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk pencu.
Ada pula bangunan yang memilih atap alang-alang (ilalang) seperti di saalh stau restoran kawasan Citraland. Selain menarik mata jika cuaca sedang panas, atap ilalang mampu memunculkan hawa yang dingin di dalam ruang sehingga tetap terasa sejuk dan segar, dan sebaliknya.
Atap alang-alang sudah digunakan sejak dahulu kala diseluruh penjuru dunia, dari Eropa, Afrika, serta Asia. Kalau di Indonesia, rumah adat wilayah Indonesia Timur seperti Lombok dan Papua menggunakan atap ini.
Arsitektur tradisional China juga muncul di Surabaya dalam bentuk masjid, yaitu Masjid Chengho yang terletak di di Jalan Gading, Ketabang, Genteng, Surabaya atau 1.000 m utara Gedung Balaikota Surabaya. Arsitektur masjid menyerupai kelenteng (rumah ibadah umat Tri Dharma). Masjid ini didominasi warna merah, hijau, dan kuning. Ornamennya kental nuansa China lama.
Pintu masuknya menyerupai bentuk pagoda, terdapat juga relief naga dan patung singa dari lilin dengan lafaz Allah dalam huruf Arab di puncak pagoda. Di sisi kiri bangunan terdapat sebuah beduk sebagai pelengkap bangunan masjid