Kamis, 14 Juni 2012

bangunan indah






SP/Iwan Heriyanto
Atap gedung pertemuan berdesain Rumah Gadang di Jl Gayung Kebon Sari ini menjulang bak tanduk kerbau ‘menantang’ langit.
Arsitektur modern saat ini lebih berkiblat pada desain minimalis multifungsi. Bangunan yang cenderung simetris dengan aksen berbentuk balok minim lekuk makin menjamur di seantero Surabaya. Bahkan bila memilih tema klasik, banyak yang mengimplementasikan gaya Eropa. Walhasil, dalam hitungan puluhan tahun rumah tradisional negeri ini hanya akan menjadi cerita atau minimal hanya bisa dilihat di Taman Mini Indonesia Indah(TMII).
Padahal, pada arsitektur bangunan rumah tradisional, arsitektur bukan sekadar pemahaman seni konstruksi rumah, juga merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya. Kecintaan manusia pada cita rasa keindahan, bahkan sikap religiusitasnya terefleksikan dalam arsitektur rumah dengan gaya ini.
Saat ini pun di tengah belantara bangunan modern, hanya beberapa bangunan saja yang masih keukeuh  mengusung konsep tradisional. Etnik yang cantik ditampilkan untuk ‘menguri-uri’ budaya sekaligus menjadi daya tarik.
Sebut saja Rumah Gadang di  Jl Gayung Kebon Sari. Rumah Gadang disebut juga Rumah Godang bahkan masyarakat Minangkabau menyebutnya Rumah Bagonjong atau Rumah Baanjung. Di Sumatera Barat, umah Gadang digunakan sebagai tempat tinggal bersama.
Namun di Kota Pahlawan gaya rumah ini di adopsi untuk sebuah gedtng pertemuan. Tak hanya digunakan oleh orang berdarah Minang yang ada di Surabaya, seringkali masyarakat umum menyewanya untuk berbagai kegiatan. Mulai pernikahan,reuni hingga  acara sosial.
Rumah adat ini memiliki keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya runcing yang menyerupai tanduk kerbau dan dahulunya dibuat dari bahan ijuk yang dapat tahan sampai puluhan tahun namun belakangan atap rumah ini banyak berganti dengan atap seng.
Ada juga yang mengusung tema Bali style. Seperti tampak di salah satu ruang belajar di Pura Segara kawasan Kenjeran. Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.
Arsitektur Jawa kuno yaitu Rumah Joglo juga masih bisa ditemukan di Taman Budaya Cak Durasim. Joglo mencerminkan ketenangan dengan ciri pemakaian konstruksi atap yang kokoh dan bentuk lengkung-lengkungan di ruang per ruang.
Joglo merupakan kerangka bangunan utama dari rumah adat Kudus terdiri atas soko guru berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) atau tumpang telu (tumpang tiga) di atasnya. Struktur joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur utama rumah, juga sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk pencu.
Ada pula bangunan yang memilih atap alang-alang (ilalang) seperti di saalh stau restoran kawasan Citraland. Selain menarik mata jika cuaca sedang panas, atap ilalang mampu memunculkan hawa yang dingin di dalam ruang sehingga tetap terasa sejuk dan segar, dan sebaliknya.
Atap alang-alang sudah digunakan sejak dahulu kala diseluruh penjuru dunia, dari Eropa, Afrika, serta Asia. Kalau di Indonesia, rumah adat wilayah Indonesia Timur seperti Lombok dan Papua menggunakan atap ini.
Arsitektur tradisional China juga muncul di Surabaya dalam bentuk masjid, yaitu Masjid Chengho yang terletak di di Jalan Gading, Ketabang, Genteng, Surabaya atau 1.000 m utara Gedung Balaikota Surabaya. Arsitektur masjid menyerupai kelenteng (rumah ibadah umat Tri Dharma). Masjid ini didominasi warna merah, hijau, dan kuning. Ornamennya kental nuansa China lama.
Pintu masuknya menyerupai bentuk pagoda, terdapat juga relief naga dan patung singa dari lilin dengan lafaz Allah dalam huruf Arab di puncak pagoda. Di sisi kiri bangunan terdapat sebuah beduk sebagai pelengkap bangunan masjid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar